SEGENGGAM BERLIAN DALAM TIMBUNAN SAMPAH



HIDAYAT, Direktur PT Mitratani Mandiri Perdana (Mittran). Bisnisnya mengelola sampah menjadi energi terbarukan, dan menjualnya ke sejumlah perusahaan. Sejumlah perumahan kini memakai jasa manajemen sampah darinya.

Berapa volume sampah yang dihasilkan warga Ibu Kota per hari? Menurut catatan Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta, tiap orang di kota ini menghasilkan sampah rata-rata 2,9 liter per hari. Dengan penduduk sekitar 12 juta jiwa, termasuk para komuter, tiap hari mereka menimbun 26.945 meter kubik atau sekitar 6.000 ton sampah. Kalau seluruh sampah tadi ditumpuk di Taman Monumen Nasional (Monas) yang luasnya 110 hektar, niscaya dalam 40 hari taman itu bakal beralih rupa menjadi timbunan sampah setinggi satu meter!.

Alih-alih diolah menganut prinsip reuse, reduce, recycle, sampah tadi hanya dibuang begitu saja di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. Jika tak memperhitungkan daya tampung, bukan tidak mungkin kasus longsornya timbunan sampah yang menewaskan warga sekitar akan terulang kembali. Kabar terbaru, kini ada enam perusahaan asal Australia, Cina, Jepang, Korea Selatan, Kanada, dan Singapura yang berebut proyek pengelolaan sampah di Bantar Gebang. Mereka mengaku mampu mengolah dan menghasilkan kredit karbon sesuai konsep clean development mechanism (CDM).

Sejatinya, di pinggiran Jakarta, ada Hidayat yang mampu mengelola sampah sesuai konsep CDM tadi. Di bawah naungan Yayasan Rumah Perubahan, PT Mitratani Mandiri Perdana (Mittran) miliknya telah melakukan hal-hal yang dijanjikan para pengusaha asing tadi sejak dua tahun silam. Ia bahkan mampu memasok biomassa untuk beberapa perusahaan.

Sampah Ditukar Susu

Semula, Hidayat adalah pemasok bunga krisan ke supermarket Hero. Selain itu, sejak 1993, ia juga memproduksi mesin pengolah sampah, seperti mesin pencacah plastik atau pengepres sampah. Namun, sebagian besar mesin yang dijualnya ternyata hanya menjadi pajangan semata. Pembeli, yang kebanyakan datang dari sejumlah pemerintah daerah, tidak mengoptimalkan pengoperasiannya. “Daripada mesin mangkrak di gudang, mengapa perusahaan tak sekalian menawarkan jasa pengelolaan sampah?” pikir Hidayat, kala itu.

Sebagai langkah awal, Hidayat menawarkan konsep waste management di lingkungan sekitar tempat tinggalnya, di kawasan Jatimurni, Bekasi. “Resistensi warga besar sekali,” keluh dia. Pria kelahiran Magelang, 26 Agustus 1963 ini lalu meminta izin ketua RT/RW setempat untuk memasang tong sampah di jalan-jalan utama kampung yang banyak dihuni masyarakat kelas sosial bawah. Satu bulan pertama, tiap pagi, karyawan Mittran mengambil sampah. Sebagai perkenalan, ia tak memungut biaya sepeser pun. Sebulan berlalu, di depan rapat warga, ia menawarkan opsi: masyarakat akan terus memakai jasanya untuk membersihkan lingkungan atau tidak. Hasilnya, seluruh warga mufakat terus memakai jasa Mittran. Sebagai pengusaha, ia lalu menuturkan bahwa layanan ini tidak gratis.

Untuk tiap tong sampah, ia memungut biaya retribusi Rp30.000 per bulan. Satu tong bisa dipakai bersama atau secara individual. Jika enam keluarga memakai satu tong, berarti tiap keluarga hanya membayar Rp5.000 per bulan. Nantinya, dengan mobil pikap, pekerja Mittran hanya akan mengambil sampah yang dimasukkan dalam tong. Kalau ada yang tercecer, mereka akan tinggalkan di tempat semula. “Saya ingin masyarakat menghitung berapa banyak sampah yang mereka hasilkan tiap harinya,” papar Hidayat. Jadi, apabila warga hendak menebang pohon atau mengadakan hajatan, yang sekiranya akan menghasilkan sampah lebih banyak dari biasanya, mereka harus berkoordinasi dengan pihak Mittran.

Nah, agar sampah tak meluber ke luar tong, pihak perusahaan menawarkan barter untuk barang yang dapat didaur ulang, seperti buku telepon, koran bekas, atau botol kecap. Tiap kilogram, perusahaan memberi nilai Rp500 yang bisa ditukarkan dengan telur, mi instan, atau susu. Menurut suami Kusmayawati ini, program tersebut bisa merangsang masyarakat untuk memilah sampah yang akan dibuang.

Pilihan memakai tong, bukan bak sampah dari semen, dan menempatkannya di jalan-jalan utama, tidak termasuk di gang sempit, ini demi efisiensi. Hidayat memperhitungkan untuk mengumpulkan satu tong sampah butuh waktu 1,2 menit. Bandingkan dengan bak sampah yang membutuhkan 6 menit karena petugas harus mengais lebih dalam. Ini berarti, dalam satu jam, petugas Mittran mampu mengumpulkan 40–50 tong. Jika jam kerja petugas hanya enam jam, mereka bisa mengambil sampah dari 300 tong dalam satu wilayah yang dihuni 1.500 keluarga. “Kami menerapkan sistem seperti PLN. Jika warga lalai membayar retribusi, pihak perusahaan akan mencabut tong tersebut dan membiarkan sampah terserak di depan rumah mereka,” ucap anak tunggal yang dibesarkan di lingkungan keluarga TNI ini. Tong tersebut, lanjut dia, merupakan milik perusahaan.

Selain menangani sampah di wilayah Jatimurni, Mittran juga melayani waste management di perumahan di kawasan Cinere, Cibubur, dan Citeureup, selain Pasar Ciroyom, Bandung. “Kalau sekadar membeli mesin pengolah sampah, konsumennya datang dari seluruh penjuru Indonesia,” tutur lulusan Fakultas Ekonomi UI ini, bangga. Kini Mittran kewalahan melayani permintaan dari pengembang perumahan yang terpincut dengan gaya perusahaan mengelola sampah. Meski demikian, perusahaan tak mengambil semua peluang. Pasalnya, volume sampah yang masuk tempat pengolahan harus seimbang dengan kapasitas mesin pengolah, agar tak terjadi penimbunan. Tiap hari, Mittran baru mampu mengelola 7,5 ton sampah.

Hukum Kekekalan Energi

Setelah sampah terkumpul, mobil pikap segera meluncur ke tempat pengolahan. Di tempat itu, sampah dimasukkan ke mesin sortasi. Sampah organik akan dijadikan kompos, sedangkan yang anorganik akan mengalami proses lebih panjang, yakni melewati mesin pencacah dan pencuci. Hasilnya pun ada dua opsi. Sampah plastik yang kondisinya masih bagus akan dijual untuk didaur ulang oleh pihak lain, sementara sampah yang tidak bisa diapa-apakan lagi akan dipadatkan untuk dijadikan biomassa. Pelanggan biomassa buatan Mittran adalah pabrik semen PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Mereka meminta 10.000 ton biomassa per bulan, sayangnya Mittran baru bisa memenuhi 300 ton. Ini belum termasuk permintaan dari pabrik semen lainnya, yakni PT Holcim Indonesia Tbk., dan beberapa pabrik gula. “Mereka pakai biomassa karena harga BBM makin mahal dan ingin mendapatkan kredit karbon,” ungkap Hidayat. Saat ini, lanjut Hidayat, pihaknya tengah menjajaki kerja sama dengan Jepang untuk teknologi pengubah plastik menjadi solar, dan pengekstraksi gas metan yang terkandung dalam sampah.

Mittran saat ini mempekerjakan 25 karyawan bagian manajemen, dan puluhan tenaga lepas di tempat pengolahan. Untuk mengepak kompos, misalnya, perusahaan menerima pengangguran yang dibayar Rp100 per kantong yang dihasilkan. Pagi hari mereka menaruh KTP, sore hari bisa mengambilnya kembali plus uang hasil jerih payahnya. Di bawah naungan Yayasan Rumah Perubahan, Mittran menggelar program penciptaan 1.000 entrepreneur sampah. Mereka mendidik calon pengusaha yang tertarik mengembangkan bisnis ini di wilayah lain. “Ini peluang bisnis yang luar biasa. Kalau dikelola dengan benar, sampah bisa menjadi amat berharga,” tandas Roy Kuntjoro, mitra Hidayat di Rumah Perubahan.

Pada dasarnya, bisnis Mittran berpijak pada hukum kekekalan energi, dan Hidayat dengan cerdas membungkusnya dengan teori bisnis. “Sekarang, kalau melihat daun jatuh dari pohon, saya langsung berpikir, ah, itu energi. Kalau kita olah, bisa dapat duit,” kata Hidayat, terbahak. Penggemar biliar ini menyayangkan potensi energi dan bisnis yang tersimpan dalam gunungan sampah di TPA Bantar Gebang, Leuwigajah, atau Keputih, tetapi tak dimanfaatkan secara optimal. “Daripada susah-susah menggali batu bara dalam perut bumi, mengapa tidak mendapatkannya dari sampah yang ada di sekitar kita?” tanyanya.

Dari bisnis sampahnya itu, menurut taksiran Warta Ekonomi, Mittran mendapatkan setidaknya Rp225 juta per bulan. Ini belum termasuk pendapatan dari penjualan mesin, retribusi sampah, biaya pendidikan calon entrepreneur sampah, dan fee dari perusahaan pemakai jasanya. “Pokoknya cukup untuk menikmati hidup,” kata ayah dari Tio dan Yoga ini, kalem. Kendati demikian, ia mengembalikan keuntungan ke masyarakat dalam bentuk edukasi. Oleh karena prospek bisnis yang nilainya luar biasa, kurang dari sepuluh tahun mendatang ia berencana mendaftarkan perusahaannya ke lantai bursa. Sekali mendayung, perusahaan bisa mengupayakan kebersihan lingkungan, mendapatkan energi alternatif, dan tentu saja menggemukkan pundi-pundinya.

PT Mitratani Mandiri Perdana ("Mittran")
Jl. Raya Hankam Gg. Rambutan No. 51 Jatimurni, Pondok Gede Bekasi
Telepon: 021-8459-2981, 8429-7219 Faks: 021-8459-2981

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Hidayat dulu tetangga saya dan adik kelas semasa kuliah di Fakultas Ekonomi UI. Ia tipe entrepreneur sejati yang giat bekerja, inovatif, mau terus belajar, dan pandai mencium peluang. Dia juga memiliki karakteristik sebagai tokoh perubahan. Di tangan dia, sampah bisa menjadi bisnis yang menguntungkan dan memiliki prospek bagus. (sumber solusi sampah.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar